Ketahanan Pangan Dimulai dari Ekonomi Keluarga, Oleh: Dr. (cand) I Made Bagus Dwiarta, SE., MM., CPM (Asia) Pakar Manajemen Pemasaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

banner 120x600

JKM.COM, SURABAYA – Keluarga bukan sekadar unit konsumtif yang hanya mengandalkan pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam tatanan ekonomi modern, keluarga idealnya tampil sebagai entitas produktif yang mampu menghasilkan, mengelola, dan bahkan memasarkan produk pangan sendiri.

Konsep ini dikenal dalam dunia pemasaran sebagai prosumer yakni konsumen yang sekaligus menjadi produsen. Ketika keluarga bertransformasi menjadi prosumer pangan, terjadi pergeseran signifikan dalam struktur ekonomi rumah tangga.

Mereka tidak lagi pasif terhadap perubahan harga pasar atau krisis distribusi pangan, melainkan mampu merespons secara aktif dengan memproduksi sebagian dari kebutuhan pangan secara mandiri. Misalnya, keluarga yang memelihara ayam petelur, menanam sayuran di polibag, atau membuat olahan pangan khas daerah untuk dijual secara daring telah membuktikan bahwa rumah tangga bisa menjadi pelaku ekonomi nyata.

Lebih jauh, kegiatan produksi pangan di tingkat rumah tangga juga menciptakan multiplier effect terhadap perekonomian lokal. Ketika tetangga ikut membeli, ketika komunitas terbentuk di sekitar aktivitas produksi rumahan, dan ketika pemasaran dilakukan melalui media sosial, maka terbentuklah ekosistem kecil yang saling mendukung dan memperkuat.

Aktivitas ini tidak hanya meningkatkan pendapatan keluarga, tapi juga menjadi wadah pemberdayaan, terutama bagi perempuan dan generasi muda. Dalam konteks ini, dapur bukan lagi ruang domestik yang terpinggirkan, tetapi pusat inovasi, kreativitas, dan ketahanan ekonomi.

Dalam skala yang lebih luas, transformasi keluarga menjadi pelaku ekonomi pangan akan memperkuat fondasi ekonomi kerakyatan. Di tengah gempuran produk instan dan makanan impor, produk lokal berbasis rumah tangga hadir dengan keunggulan nilai.kesegaran, keterlacakan sumber, keberlanjutan, dan cerita di balik produksinya. Inilah yang dicari oleh pasar modern—bukan sekadar makanan, tetapi makna.

“Maka, sudah saatnya kita berhenti memandang keluarga sebagai beban negara dalam hal pangan. Sebaliknya, keluarga adalah aset strategis bangsa dalam mewujudkan kedaulatan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam kondisi ekonomi nasional yang kian kompleks—ditandai dengan inflasi pangan yang menggerus daya beli masyarakat, fluktuasi harga bahan pokok yang tak menentu, serta tantangan distribusi logistik akibat gangguan global dan perubahan iklim keluarga dengan kemandirian ekonomi terbukti menjadi benteng pertahanan paling tangguh,” tutur Dr. (cand) I Made Bagus Dwiarta, SE., MM., CPM.

Lanjut I Made Bagus Dwiarta, Ketika keluarga memiliki kemampuan mengelola pengeluaran, merencanakan anggaran secara realistis, dan membuat keputusan konsumsi yang bijak dan berorientasi jangka panjang, mereka tidak sekadar bertahan dalam badai, tetapi juga mampu tumbuh dan beradaptasi.

Dalam banyak kasus, keluarga seperti inilah yang mampu mengubah krisis menjadi peluang: mereka menanam bukan karena hobi, tetapi karena strategi; mereka memasak bukan semata karena kebutuhan, tetapi sebagai wujud kontrol terhadap kualitas dan pengeluaran.

Namun, ketahanan pangan keluarga tidak boleh direduksi hanya pada keberadaan makanan di meja makan. Ia mencakup dimensi yang lebih luas dan mendalam, kualitas gizi yang dikonsumsi, keberlanjutan dari sumber pangan, serta akses dan kemampuan keluarga untuk mengelola seluruh rantai pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri dan efisien.

“Di sinilah pentingnya membangun kesadaran bahwa ketahanan pangan adalah bentuk literasi ekonomi paling nyata di tingkat rumah tangga. Keluarga yang menerapkan pola konsumsi cerdas misalnya dengan mengurangi ketergantungan pada makanan olahan, mengoptimalkan pemanfaatan sisa bahan pangan, dan mendiversifikasi sumber makanan dari hasil kebun pekarangan telah menunjukkan kapasitas adaptif yang luar biasa terhadap tekanan sosial dan ekonomi,” ucapnya

Lebih lanjut I Made , keterampilan dasar seperti berkebun, beternak kecil-kecilan, mengolah pangan lokal, hingga memasarkan produk olahan melalui platform digital menjadi modal sosial dan ekonomi baru.

Aktivitas ini bukan hanya menambah pendapatan keluarga, tetapi juga memperkuat jejaring sosial antarwarga, meningkatkan rasa percaya diri, serta menanamkan nilai-nilai tanggung jawab terhadap lingkungan dan kesehatan keluarga. Dalam konteks ekonomi digital dan era media sosial saat ini, keluarga yang mampu mengombinasikan keterampilan produksi pangan dengan literasi digital telah memasuki babak baru sebagai pelaku ekonomi mikro berbasis rumah tangga.

Mereka bukan sekadar penyintas krisis, tetapi pelopor perubahan menuju ekonomi pangan yang tangguh, adaptif, dan berkelanjutan.

Fenomena kebangkitan ekonomi keluarga ini mulai terlihat di berbagai daerah, menyusup perlahan namun pasti ke dalam denyut kehidupan masyarakat.

Di desa maupun kota, kita menyaksikan ibu rumah tangga yang mengolah singkong dari pekarangan menjadi keripik berkualitas, atau anak-anak muda yang meramu salad buah berbahan lokal dan menjualnya melalui media sosial dengan kemasan kreatif.

Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumsi pribadi, tetapi juga membuka jalur distribusi baru bagi produk pangan lokal. Ini bukan sekadar aktivitas ekonomi skala kecil ini adalah gerakan ekonomi gotong royong berbasis rumah tangga yang menghidupkan semangat kemandirian dan solidaritas sosial.

Dari perspektif pemasaran, tren ini menciptakan dinamika baru yang menarik: terbentuknya segmen konsumen yang lebih sadar akan kesehatan, keberlanjutan, dan nilai-nilai keaslian produk. Produk pangan rumahan yang diolah secara higienis dan dipasarkan secara digital mulai mendapat tempat istimewa di hati konsumen urban yang jenuh dengan produk massal dan anonim.

Di tengah dominasi industri besar, brand-brand kecil berbasis keluarga justru hadir dengan kekuatan cerita narasi tentang kejujuran, ketekunan, lokalitas, dan nilai budaya. Inilah nilai tambah emosional dan sosial yang tak bisa ditiru oleh mesin-mesin pabrik.

Lebih dari sekadar bertahan, ketahanan pangan berbasis keluarga memberikan efek ganda (multiplier effect) terhadap kesejahteraan. Ketika keluarga bisa menghemat pengeluaran pangan melalui produksi dan konsumsi yang cerdas, mereka memperoleh ruang fiskal yang lebih longgar untuk hal-hal esensial lainnya pendidikan anak, perlindungan kesehatan, bahkan investasi masa depan.

Skala dampaknya menjadi kolektif: semakin banyak keluarga yang tangguh secara pangan, semakin kuat pula struktur sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah investasi jangka panjang bagi ketahanan bangsa.
Dalam konteks ini, perguruan tinggi tidak boleh tinggal diam di menara gading.

“Dunia akademik memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk ikut turun tangan. Program pengabdian kepada masyarakat harus lebih progresif: menginisiasi pelatihan kewirausahaan pangan berbasis potensi lokal, menciptakan inkubator UMKM keluarga, serta mendorong riset terapan yang berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat,” ujarnya.

Kolaborasi strategis antara akademisi, pelaku usaha, dan pemerintah desa harus dibangun untuk menciptakan ekosistem ekonomi pangan yang tangguh, inklusif, dan berkeadilan.

Lebih jauh, kita perlu mendorong integrasi isu ketahanan pangan ke dalam kurikulum pendidikan sejak usia dini. Anak-anak dan remaja harus dikenalkan pada pentingnya keterampilan dasar ekonomi keluarga mulai dari berkebun, mengolah makanan, hingga menghitung anggaran.

Ini bukan hanya soal edukasi konsumsi, tetapi juga bagian dari pendidikan karakter, ketahanan hidup, dan kesiapan menghadapi tantangan masa depan yang semakin tidak pasti.

Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa ketahanan pangan bukan semata tugas pemerintah pusat atau lembaga internasional.

Ia adalah tanggung jawab kita semua, dan ia dimulai dari meja makan di rumah kita sendiri. Dari keluarga yang kuat, akan lahir masyarakat yang mandiri. Dan dari masyarakat yang mandiri, akan tumbuh bangsa yang berdaulat dalam pangan dan ekonomi.

Karena itu, mari mulai dari yang paling sederhana dan paling dekat: rumah kita sendiri. Tanamlah sayur di pekarangan, beli langsung dari petani lokal, olah makanan sehat sendiri, dan ajarkan anak-anak untuk tidak menyia-nyiakan makanan.

“Inilah langkah kecil yang bermakna besar. Sebab dari rumah yang kokoh, kita sedang membangun pondasi negeri yang tangguh—tangguh menghadapi krisis, dan tangguh menatap masa depan,” pungkasnya.


banner 336x280

Tinggalkan Balasan